DOKTER-KU SAYANG, DOKTER-KU MALANG.
Institusi pendidikan dokter dan pusat pusat pelayanan kesehatan kini
sudah bermetamorfosis menjadi sebuah investasi bisnis yang sangat
menggiurkan. Bagaimana tidak menggiurkan, jika seorang anak manusia yang
mau memasuki fakultas kedokteran diharuskan mengeluarkan biaya minimal
200 sampai 300 juta rupiah , maka bayangkanlah berapa besar uang yang
akan diraup oleh pihak fakultas yang bersangkutan jika sekali masa
penerimaan ada 200 sampai 300 orang yang mendaftar.
Karena itu
tidak heran, akhir akhir ini kita menyaksikan banyaknya bermunculan
fakultas fakultas kedokteran, bak jamur tumbuh di musim hujan , utamanya
di universitas universitas swasta, yang sebagian diantaranya dijalankan
dengan sarana dan pra sarana yang se'adanya', infrastruktur yang tidak
memadai,staf pengajar yang kurang kualitatif dan sistim pendidikan yang
tidak kredibel. Prinsip mereka, pokoknya buka saja dulu, masalah
kualitas urusan belakangan !.
Mereka umumnya tidak memiliki
'hospital teaching' sebagaimana halnya FK FK di universitas negeri yang
selama ratusan tahun diyakini berfungsi sebagai kawah candra dimuka
untuk menggodok dan menempa calon calon dokter dengan tradisi dan kultur
khas-nya.
Anehnya, mereka tidak malu malu mematok biaya yang
luar biasa besarnya untuk bisa menempuh pendidikan dokter di
fakultasnya. Pemerintah diam. Parlemen juga bungkam. Kita tidak bisa
membayangkan dokter kualitas seperti apa yang akan dilahirkan dari
institusi pendidikan semacam ini ?.
Di satu sisi, aturan dan
regulasi yang berlaku di negara ini memang sangat tidak kondusif untuk
kehidupan profesi dokter. Lihatlah, betapa merananya nasib para dokter
di Indonesia.
Setelah menjalani masa pendidikan dokter yang
sangat lama ( rata rata 6 tahun ), mereka harus menjalani program dokter
internship dengan memperoleh honor sebesar Rp. 1.2 juta per bulan,
tidak perduli dimanapun dia ditempatkan di seluruh pelosok Indonesia.
Itupun, katanya, pembayaran gajinya dirapel setiap tiga bulan sekali.
Tanpa uang kost, tanpa uang makan dan tanpa uang transport !.
Lantas, jika ia berhasil terpilih menjadi pegawai negeri sipil, dia
hanya akan memperoleh golongan 3B. Si dokter akan mendapatkan gaji pokok
lebih kurang Rp.2.2 juta plus tunjangan fungsional sebesar Rp.300 ribu,
sehingga total pendapatan yang ia bawa pulang ke rumah tidak lebih dari
Rp.2.6 juta. Lalu, bagaimana kalau kerja di klinik klinik swasta ?.
Samimawon !.
Tahukah anda bahwa uang duduk seorang dokter umum
di Klinik 24 Jam misalnya, rata rata Rp. 100 ribu dalam sehari semalam.
Lebih mengenaskan lagi, untuk jasa mediknya si dokter cukup diberi upah
1000 perak ( baca sekali lagi, seribu perak ! ) per pasien !. Untuk
memarkir sebuah sepeda motor saja, anda harus merogoh kocek 2000 perak.
Jadi, rupanya tukang parkir yang kerjanya santai dan masih bisa ketawa
ketiwi itu lebih besar pendapatannya dibandingkan dokter yang kerjanya
'babak belur 'sepanjang siang dan malam serta harus 'melek' melayani
pasien pasiennya !. Ironis !
Tidak sampai disini kisah kemalangan sang dokter.
Di tengah tengah masyarakat, profesi dokter dipuja puji sebagai profesi
yang sangat luhur dan suci. Karena itu, seorang dokter dituntut harus
bekerja secara sosial, tulus dan ikhlas serta sedapat mungkin jangan
memikikirkan upah yang akan diperolehnya. Dia harus siap 24 jam sehari
semalam jika pasien membutuhkannya dan pengobatan yang diberikannya
haruslah bisa memuaskan pasien.
Di sisi lain, dokter juga
diharapkan untuk mengabdi habis habisan, memperbanyak dosis kesabaran
serta harus bersedia berkorban demi terlaksananya berbagai kegiatan dan
program yang dijalankan oleh pemerintah, seperti 'Kota Sehat' dan
berbagai program berbau 'politik' lainnya.
Namun, ketika dokter
dirundung sial karena adanya 'dugaan kesalahan pengobatan', misalnya ,
para sejawat kita ini segera dihujat di berbagai media publik, dituduh
melakukan malpraktek, seakan akan kesalahan yang belum terbukti
kebenarannya itu merupakan dosa tercela yang tak terampuni , yang harus
dipikul sendiri oleh mereka, bahkan mungkin juga oleh keluarganya.
Lantas, bila perlu jadikan mereka sebagai pesakitan dan seret mereka ke
depan sidang pengadilan dengan tuntutan minimal 500 juta rupiah atau
penjarakan !. Tidak ada pembelaan buat kita. Semuanya diam membisu.
Sungguh, malang benar nasib dokter di Indonesia !.
(Copas dari forum PERDAMI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar